top of page
Search

Aku Suka Bicara dengan Suara Rendah

  • Writer: Anak-anak Langit
    Anak-anak Langit
  • Jan 13, 2018
  • 4 min read

Oleh: Dede Sulaeman

Ketika Farel mengetahui adiknya yang kedua lahir, dia menjadi pendiam dan sedikit murung. Sekarang usianya 8 tahun dan ia merasa kurang senang waktu ulang tahunnya tidak dirayakan dan dia tahu ulang tahun adik pertamanya dirayakan sepekan sebelum dia ulang tahun.


“Nak, sekarang sudah hampir pukul tujuh. Cepat mandi dan segera bersiap pergi sekolah,” kata ibu.


Farel masih duduk. Di depannya televisi masih menyala.


“Farel, mau mandi sekarang atau kamu akan terlambat sekolah?”


Farel tetap diam dan tak mau beranjak.


“Farel…”


Ah, ibu nih…nyuruh-nyuruh terus,” suaranya cukup keras. Ibu menjadi terkejut, tak menyangka anak sulungnya itu hampir-hampir seperti membentak. Ada perasaan sedih. Tapi ibu tidak tahu, kenapa Farel seperti itu. Menurut ibu kemarin-kemarin Farel tidak begitu. Apa karena ibu atau ayah telah berbuat salah kepadanya?


Belum lagi ibu kembali berkata, Farel langsung mengambil handuk dan pergi mandi. Raut wajahnya memerah seperti sehabis kena terik matahari.


Pagi itu, Farel bersiap berangkat sekolah. Dia menemukan adiknya sedang meneguk air menggunakan botol minum miliknya.


“Adek,” teriaknya. “Ini botol minum aku, tahu. Sini..” Farel langsung mengambil botol minumnya, padahal adiknya belum selesai minum.


Prakk. Botol minum dari bahan plastik itu dibanting sampai terpelanting. Meskipun tidak pecah karena bahannya kuat, tapi airnya tumpah tercecer membasahi lantai.


Kamu bisa menduga, adiknya pasti menangis, karena dia dibentak, direbut botol minumnya, dan botol itu dibanting keras. Pagi itu suasana menjadi ramai. Farel marah-marah dengan berteriak dan adiknya menangis.


Ibu datang dan segera tahu apa yang sedang terjadi.


“Farel, maafkan adikmu. Dia tidak tahu kalau itu botol minummu.”


Farel diam. Mukanya cemberut.


“Sekarang, ambilkan kain dan lapkan air yang tercecer di lantai itu. Sekarang ya, Nak!” Ibu berkata tegas, tapi tidak marah. Selama ini memang ibu tidak pernah marah. Tapi ibu tetap tegas, kalau Farel atau adiknya melakukan sesuatu yang tidak baik. Misalnya, merebut mainan punya orang lain atau memukul.


Farel pergi ke dapur dan mengambil kain dengan malas. Dengan rasa terpaksa ia mengelap lantai karena tumpahan air dari botol yang ia lempar itu. Setelah selesai ia pun duduk di kursi dan menunggu sarapan yang sedang disiapkan ibunya.

Ibu datang membawa sarapan untuk Farel.


“Nak, ibu tahu kamu marah karena botol minummu dipakai adek. Tapi bisakah kamu merendahkan suara.” Ibu memberikan sarapan dan menyiapkan minum untuk Farel.


“Sekarang, makanlah, setelah itu bersiap berangkat sekolah, ya Nak.”


Tanpa bicara, Farel makan. Wajahnya masih menunduk.


Pagi itu ayah sedang bersiap akan pergi bekerja. Dia tahu teriakan Farel, tapi ayah diam saja karena tahu ibu bisa menangani Farel dengan baik. Ketika ayah sedang menggosok sepatunya dengan semir, tiba-tiba Farel berteriak memanggilnya.


“Ayaahh. Kenapa rantai sepedanya copot lagi. Ayah sih, ga mau beliin aku sepeda baru.”


“Iya, Nak. Kalau ayah sudah ada uangnya, nanti beli sepeda baru.” Akhirnya ayah pun tak kuasa untuk memberi janji, akan membelikan sepeda baru.


“Seharusnya ayah beliin aku sepeda pas kemarin aku ulang tahun,” ketus Farel.

Ayah diam dan membetulkan kembali rantai sepeda yang lepas.


***

Ayah dan ibu sedang bimbang, bagaimana caranya supaya Farel tidak membentak dan marah-marah. Keduanya belum bisa mengendalikan Farel yang sering berteriak ketika marah dan tak segan membanting apa saja yang ingin ia banting.


Sore itu, sepulang bekerja ayah mampir ke toko buku untuk mencari buku yang bisa dibaca ibu. Dan tampaknya ayah sudah mendapatkan buku yang tepat dan memberikannya pada ibu. Ya, buku kan memang sumber pengetahuan. Itulah yang dilakukan ayah dan ibu ketika mempunyai masalah.


Pagi yang sejuk. Gerimis begitu saja menghambur dan membasahi siapa saja yang berada di luar rumah tanpa pelindung air. Apa pun cuacanya, tampaknya Farel tak berubah. Ia terus menerus berteriak dan marah ketika ada sesuatu yang membuatnya jengkel.


“Buu…aku ga mau sekolah ah. Coba ibu lihat, di luar hujan. Nanti aku sakit lagi.” Farel kembali berteriak.


“Nak, hujannya hanya gerimis dan kamu bisa memakai jas hujan supaya tidak basah,” kata ibu. “Sekarang, kamu sarapan saja dulu. Itu sudah ibu siapkan.”


Ketika ayah datang, Farel langsung menagih janji. “Yah, kapan beli sepeda baru. Sepeda aku yang itu kan sudah jelek. Ayah nih, janji-janji aja, tapi ga mau beliin,” teriak Farel.


Ayah diam. Dia hanya menatap ibu dan berharap ibu bisa melakukan sesuatu.


“Farel, rendahkan suaranya. Ayah tidak akan membelikanmu sepeda baru kalau suaramu masih tinggi seperti itu,” kata ibu.


“Betul. Ayah hanya akan membelikan sepeda baru kalau kamu tidak terus-terusan berteriak dan marah-marah.” Ayah pun menimpali ibu, kali ini dengan suara tegas.

Farel diam.


“Coba ulangi, permintaanmu dengan sopan dan suara rendah,” pinta ayah.


“Iya, Ayah,” jawab Farel dengan suara rendah. Dengan malu-malu Farel mengulangi permintaannya untuk dibelikan sepeda baru dengan suara rendah.


“Bisakah bicara lebih sopan, Nak! Ayah tahu, kamu itu anak yang baik, bahkan paling baik di rumah ini. Ayah percaya kamu bisa bicara sopan dan bicara dengan suara rendah. Bisa?” kata ayah dan Farel mengangguk tanda setuju.


Sejak itu, secara perlahan Farel mulai berkata lebih sopan dan dengan suara lebih rendah. Meskipun berangsur, tapi dengan ibu dan ayah yang selalu mengingatkan, Farel bisa menjadi anak yang bicara sopan dan tidak berteriak, juga tidak suka marah-marah. Ya, dia menjadi anak yang sopan, suka bicara dengan suara yang rendah kepada ayah, ibu, dan kedua adiknya.


Sekarang Farel sudah tahu, menjadi anak yang sopan dan bicara dengan suara rendah itu menyenangkan, karena dengan itu dia disayang ayah, ibu, dan adiknya.[]


 
 
 

Comments


Join our mailing list

Never miss an update

© 2023 by Closet Confidential. Proudly created with Wix.com

bottom of page