top of page
Search

Buku Catatan yang Hilang

  • Writer: Anak-anak Langit
    Anak-anak Langit
  • Jan 13, 2018
  • 5 min read

Oleh: Dede Sulaeman

PAGI-PAGI sekali Nadia sudah sampai di sekolah. Segera, setelah memasukkan tasnya ke dalam loker meja tulisnya, dia melesat ke kantin untuk sarapan. Ah, asyik sekali sarapan pagi dengan menu nasi kuning khas buatan Mbok Mirah. Tiga puluh menit lebih akan Nadia gunakan untuk sarapan dan membaca komik kesukaannya.


Maklum saja, PR Matematika yang dikerjakannya tadi malam belum selesai. Itu karenanya, setelah salat subuh, dia melanjutkan pekerjaannya menjawab soal-soal Matematika. Pukul enam kurang beberapa menit, PR-nya sudah selesai. Nadia yakin pekerjaannya itu sempurna. Dia sudah membayangkan nilainya sepuluh. Ah, betapa menyenangkannya.


Teng… teng… teng…


Bel sekolah sudah berbunyi. Siswa kelas V SD Negeri Legon Kulon berlarian masuk ke kelas. Di antaranya sudah duduk tekun di kursi. Mereka sedang mengerjakan PR Matematika di kelas, menjelang bel sekolah berbunyi? Huh, dasar para pemalas.


Pak Wawan sudah berdiri di depan kelas. Anak-anak muridnya sudah siap untuk berdoa bersama sebelum pelajaran dimulai.


Romli, Maknun, dan Anton tidak ikut berdoa. Mereka sedang mencatat PR Matematika. Tetapi Pak Wawan tidak terlalu memerhatikannya.


“PR-nya sudah dikerjakan, anak-anak?” seru Pak Wawan dengan senyum khasnya. Wali kelas VI ini memang selalu riang ketika mengajar. Di samping itu, Pak Wawan sangat menyayangi anak-anak didiknya.


Beliau tidak pernah membentak atau menghukum para pelanggar di kelas itu dengan hukuman fisik. Paling-paling, yang melanggar akan diberikan hadiah soal Matematika sebanyak-banyaknya. Itu sebabnya, Pak Wawan menjadi guru sekaligus wali kelas yang pavorit.


Serentak. Hampir semua siswa di kelas itu segera membuka buku catatannya untuk dikumpulkan ke depan. Biasanya Pak Wawan akan memeriksa pekerjaan anak didiknya satu persatu sambil mengabsen.


Lalu, beliau akan berkeliling menyebarkan kembali pekerjaan itu. Tentu saja, bukan diserahkan pada pemiliknya. Tetapi, pada temannya di bangku lain.


Nadia kaget. Buku catatannya hilang. Dia menggeledah tasnya. Satu per satu, buku-bukunya dikeluarkan. Tidak ada. Dia panik. Ke mana buku catatannya? Apakah tertinggal di rumah? Atau di kantin waktu pagi tadi sarapan?


Ah, tidak, tidak. Tidak mungkin ia lupa membawanya. Tadi, sebelum berangkat sekolah, dia sudah memastikan, di dalam tasnya buku catatan itu ada.


Ke mana? Ke mana, buku itu? Nadia terpaku. Bingung. Mematung.


“Nadia! Kamu sudah mengumpulkan PR-nya belum?” panggil Pak Wawan.


Nadia tegang. Keringatnya mulai keluar membasahi dahinya.


“Ini, Pak… saya sedang mencarinya. Catatan saya hilang…”


“Ayo, jangan berbohong. Kamu belum mengerjakannya, kan?” ujar Pak Wawan sambil tersenyum lembut.


“Tidak, Pak. Saya tidak bohong. Tadi pagi buku itu masih ada di dalam tas.”


“Sudah, sudah. Kamu bapak kasih soal lagi dua puluh.”


Akhirnya, Nadia tidak bisa berbuat apa-apa, selain menerima dua puluh soal Matematika lagi. Biasanya, Pak Wawan akan memberikan soal yang lebih sulit daripada soal yang pertama kali diberikan.


Sepulang sekolah Nadia duduk termenung di teras rumah. Dia masih memikirkan hilangnya buku catatan. Namun, dia tidak bisa menduga-duga, siapa yang mengambilnya dari tas.


Tambahan PR dari Pak Wawan harus diselesaikannya hari itu juga. Pak Wawan meminta besok pagi dikumpulkan.


Setelah beberapa puluh menit merenung, Nadia kembali pada buku tulis dan paket Matematikanya. Ya, dia harus menyelesaikan soal hari itu juga. Kalau tidak, dia akan menerima hadiah soal lagi yang lebih banyak.


“Huh, menjengkelkan. Siapa orang yang mengambil catatanku, ya?” Nadia bicara sendiri.


“Kenapa marah-marah sendiri, Sayang? Ada apa? Tumben-tumbenan kamu ngambek begitu.” Bu Sopia tiba-tiba mucul dengan setoples makanan kesukaan anaknya, biskuit isi coklat, dan segelas jus jeruk dingin.


“Eh, Mama.” Nadia akhirnya tersenyum. Mungkin karena disapa sayang dan dibawakan jus serta makanan kesukaannya.


Lalu, mulailah Nadia menceritakan kejadian tadi pagi di sekolah. Mamanya manggut-manggut.


“Tidak apa-apa. Mungkin tertinggal atau kamu lupa. Nah, sekarang, minum dulu jusnya. Ayo ini kuenya… habis itu kerjakan lagi tugasnya. Kamu harus berterima kasih pada Pak Wawan. Karena tugasmu ditambah. Kamu bisa banyak belajar. Orang pintar, kan, banyak belajar.” Bu Sopia memberikan semangat.


“Tapi, nanti sore, Nadia mau main sama teman-teman. Kalau mengerjakan PR terus, Nadia nggak bisa main, dong, Ma.” Nadia protes.


“Tidak apa-apa. Besok kan masih bisa main. Sudah kerjakan saja tugasnya. Nanti, kalau sudah selesai, mama kasih hadiah.”


“Hah, hadiah? Bener ya, Ma.”


“Iya, sayang. Makanya cepat kerjakan tugasnya.”


“Baiklah. Mama memang baik.”


Bu Sopia tersenyum. Lalu, mencium pipi anaknya. Bu Sopia pun berlalu meninggalkan Nadia untuk meneruskan memasak.


Sesekali Nadia berlari ke dapur. Jusnya habis. Ada soal yang sulit sekali, minta bantuan mama untuk menjelaskannya. Mama begitu telaten mengurus Nadia, membimbing dan mengasihinya.


Huh, akhirnya. Pekerjaan Nadia selesai juga. Besok, tugas itu akan diberikan pada Pak Wawan. Dan besok, Nadia akan senang memberikannya di depan kelas.


Sebab, di depan murid-murid di kelas itu, Pak Wawan akan mengucapkan terima kasih kepada Nadia dan menyebutnya sebagai pahlawan kelas yang telah menyelesaikan tugas mulia. Ah, betapa senangnya.


Nadia melonjak kegirangan. Sambil bernyanyi-nyanyi kecil, dia berlari menuju kamar mandi. Nadia akan mengejar waktu mandinya. Sebelum maghrib harus selesai mandi. Kata mama, mandi setelah maghrib itu tidak sehat. Seolah sedang lari maraton, Nadia cepat sekali mandi.


“Yang beresih ya, mandinya. Tidak beresih, nanti malah kena penyakit kulit, lho, Nak.” Bu Sopia mengingatkan anak semata wayangnya sambil tersenyum tipis.


Kata-kata Bu Sopia tidak dihiraukannya. Nadia merasa mandinya sudah cukup beresih, meskipun cepat-cepat.


Nah, sudah selesai mandinya. Nadia pergi ke masjid bersama mama. Setelah salat maghrib bersama, Nadia belajar mengaji dan mama akan menungguinya sampai waktu isya datang. Barulah mereka pulang.


Di rumah, Pak Burhan sudah duduk di sofa dengan badan yang segar. Pak Burhan adalah papanya Nadia. Kerjanya di sebuah bank swasta. Pulangnya setelah maghrib, karena macet di jalan.


Mereka bersiap untuk makan malam bersama. Seperti biasa, Nadia akan mencium punggung tangan papa dan membisikan, “Papa, bawa oleh-oleh apa?”


* * *


Pagi yang segar menjelang. Nadia bersiap-siap pergi ke sekolah. Dia akan berangkat lebih pagi. Kali ini, Nadia akan menenteng tasnya terus selama sarapan dan menunggu bel sekolah berbunyi.


Dia tidak mau mengulangi kesalahannya seperti kemarin. Kali ini Nadia ingin memastikan, buku catatannya tidak hilang. Karena akan diserahkan pada Pak Wawan hari ini.


Bel berbunyi tiga kali. Berarti jam pelajaran akan dimulai. Murid-murid sekolah dasar itu berlarian, seolah sedang memperebutkan bangku yang terbuat dari coklat lezat, dan mereka akan segera memakannya dengan lahap. Ah, masa iya?


Sebelum Pak Wawan memanggil, Nadia segera ke depan mendekati mejanya. Dengan bangga, dia menyerahkan pekerjaannya. Seperti biasa, Pak Wawan mengucapkan terima kasih dengan suara keras dan mengatakan, “Inilah pahlawan kita hari ini. Nadia. Ya, Nadia telah berjuang menyelesaikan soal sebanyak dua puluh. Wah, hebat, hebat,” katanya.


Lalu menyuruh semua murid untuk tepuk tangan. Nadia tersipu. Dia melangkah kikuk, kembali ke bangkunya.


“Nah, anak-anak. Bapak ingin mengumumkan hasil pekerjaan kalian kemarin. Tetapi karena hari ini tidak ada pelajaran Matematika, bapak hanya mengumumkan secara umum saja.” Suara Pak Wawan begitu nyaring, sampai ke sudut-sudut ruangan kelas itu.


“Kedua. Bapak ingin mengumumkan bahwa… di kelas ini ada anak yang tidak mau bekerja dan malah mencuri hasil jerih payah orang lain…”


Seisi kelas hening. Mereka bertanya-tanya siapakah anak yang dimaksud Pak Wawan. Mereka juga tidak terlalu mengerti apa yang telah terjadi. Kening Nadia mengerut. Sepasang telinganya dipasang.


“Mereka telah menyalin PR Matematika milik Nadia… siapa orangnya? Nah, ini dia…” semua masih hening. Tiga orang anak gemetar.


“Romli… Maknun… Anton… silahkan maju ke depan kelas… bapak sudah tahu kalau kalian menyontek. Kemarin siang, Pak Darsim, petugas kebersihan sekolah kita, menyerahkan sebuah buku catatan, milik Nadia. Katanya beliau menemuannya di belakang kelas ini. Dan, setelah bapak periksa, semua jawaban soal PR kemarin, sama persis dengan apa yang dikerjakan Nadia. Kalian bertiga menyontek milik Nadia dan tidak mengembalikan buku catatannya sehingga Nadia harus mengerjakan tugas yang lebih banyak lagi.” Panjang lebar, Pak Wawan menjelaskan duduk perkaranya.

Nadia kaget. Jadi, mereka telah mengambil buku catatan milik Nadia.


“Dan… bapak akan memberikan hadiah dua kali… pertama untuk pekerjaan menyontek, kalian harus mengerjakan tiga puluh soal. Lalu, untuk buku catatan harian Nadia bapak beri hadiah tambahan, sebanyak empat puluh soal. Jumlahnya tujuh puluh soal untuk murid-murid yang malas dan nakal. Besok harus diserahkan ke bapak. Setelah pulang sekolah kalian bertiga menghadap bapak di kantor.”


Nadia melihat ketiga anak nakal itu beberapa saat. Mereka menunduk kaku, malu. Karena semua mata di kelas itu tertuju padanya. Huh, dasar anak-anak nakal, maunya enak sendiri.


“Untuk Nadia, yang kedua kali, bapak ucapkan terima kasih. Khusus untuk mata pelajaran Matematika, bapak akan memberikan nilai tambahan untuk kamu.”

Nadia tersipu lagi. Dia merasa semua mata tertuju padanya. Ya, tentu saja mata itu adalah tatapan bangga.[]

 
 
 

Comentarios


Join our mailing list

Never miss an update

© 2023 by Closet Confidential. Proudly created with Wix.com

bottom of page