top of page
Search

Bermain Apa Saja, Rumah Tetap Harus Bersih

  • Writer: Anak-anak Langit
    Anak-anak Langit
  • Jan 13, 2018
  • 3 min read

Oleh: Dede Sulaeman




Syam sudah berusia tiga tahun saat adik perempuannya baru lahir. Ketika adik mungilnya pertama kali menangis, ia sibuk memerankan superhero yang sering ditontonnya di televisi. Ia tampak percaya diri, seolah beberapa kejahatan yang berlangsung di sekelilingnya telah berhasil ditumpas.


Empat tahun setelah adik perempuannya yang diberi nama Zia lahir, keduanya menjadi tampak akrab dan sering bermain apa saja yang mereka sukai. Zia suka main masak-masakan; sementara Syam lebih suka memainkan mobil-mobilan dan robot-robotan. Adakalanya Zia ikut main robot-robotan, walaupun dengan setengah hati.


Tak jarang Zia suka memaksa Syam main masak-masakan. Di sinilah awal mula cerita ini dimulai.


“Kak, kita main masak-masakan, Yuk!” ajak Zia.


Syam tak menanggapi. Dia sedang asik dengan mainan robotnya. Cas. Cus. Cas. Cus. Seolah-olah robotnya berhasil mengalahkan beberapa monster jahat.


“Kakak, ayo main masak-masakan. Nanti aku yang masak. Kakak makan saja!” Zia memaksa.


Tampaknya Syam tak peduli. Dia benar-benar asyik dengan mainan robot yang dipegangnya. Dia yakin kalau saja monster besar itu tidak segera ditumpas saat itu juga, akan banyak orang yang menjadi korban.


“Kakak, aku akan masak makanan untuk robot juga.”


Syam berhenti memainkan robot. Sebentar. Lalu, ia mulai lagi. Cas. Cus. Cas. Cus.


Zia mencari-cari sesuatu dan ia menemukan beberapa kelereng. Dia mulai memasak kelereng.


“Kakak, sini aku punya sesuatu.”


“Apa?” Syam tertarik dan dia menghentikan permainannya.


“Sini,” panggil Zia.


Dengan agak malas Syam menghapiri adiknya.


Zia memperlihatkan satu wadah berisi beberapa kelereng. “Ini makanan robot yang sudah aku masak. Makanan ini akan membuat robot jadi lebih kuat.”


“Benarkah?” Syam mulai tertarik.


“Coba saja. Pasti robot jadi lebih hebat. Monster-monster jahat akan kalah.”


“Baiklah.” Syam mengambil wadah berisi makanan untuk robotnya. Ya, dia merasa robotnya memang perlu makan setelah cukup lama bertarung dengan monster-monster jahat.


Zia senang dan dia juga telah menyiapkan makanan untuk Syam. “Ini untuk kakak. Di dalamnya ada nasi, ayam goreng, dan sayuran. Ini air putih dan semangka. Semangka baik untuk perut dan segar.”


“Hmm…baiklah.” Syam pun mengambil jatah makan dan minumnya.

Sekarang Zia benar-benar senang. Kakaknya mau memakan masakannya.


Dengan lahap Syam pura-pura makan dan minum.


“Semangkanya juga, Kak.” Zia mengingatkan.


Semangka juga dihabiskan dengan lahap.


“Enak kan, Kak?”


“Hmm..” Syam mengangguk.


Sebelum Zia membereskan peralatan makan dan masaknya, ia juga makan satu wadah makanannya. Sementara Syam mulai memaikan robotnya kembali, menumpas beberapa monster yang masih tersisa. Kali ini dengan lebih bertenaga. Cas. Cus. Cas. Cus.


***


Sore itu, Zia sedang menggambar di tembok rumah dan Syam melihatnya.


“Adek, tembok bukan untuk digambar. Nanti kotor.” Syam mengingatkan. Zia berhenti sebentar, lalu melanjutkannya.


“Adeek…” kata Syam lagi.


“Nanti, aku belum selesai.” Zia melihat Syam sebentar, lalu melanjutkan gambarnya.


“Adek, nanti temboknya kotor, susah dibersihkan, kan!”


Zia berhenti menggambar dan dia pergi ke kamar untuk mengambil tisu basah dan menggosok tembok yang tadi digambarnya. Gambar menjadi tak berbentuk dan warnanya menyebar ke bagian tembok lainnya. Zia menatap kakaknya, tapi Syam hanya mengangkat bahu. Syam mencoba membantu, menggosok dengan tisu basah, tapi tembok itu masih kotor.


Zia mengambil lap dan menggosok bagian tembok yang kotor itu. Sekarang warnanya sedikit hilang, tapi masih ada dan tembok masih terlihat hitam dan kotor.


“Ayah pasti bisa membersihkannya. Kita tunggu ayah pulang saja,” kata Syam.


“Tapi, aku takut ayah marah. Menurut kakak, apa ayah akan marah?” tanya Zia.


Syam mengangkat bahu.


“Kakak, apa ayah akan marah?” tanya Zia lagi.


“Sepertinya tidak.” Syam tidak terlalu yakin. Lalu, keduanya bermain bersama di ruang tengah.


Ketika ayah pulang dari bekerja, Syam melaporkan kalau temboknya kotor karena digambar oleh Zia. Dia mengatakan, “Aku sama Zia sudah bersihkan tembok itu, tapi masih kotor, Yah.”


Zia berada di belakang Syam dan terlihat ketakutan. Matanya memerah, sebentar lagi akan menangis.


“Apa ayah marah, karena temboknya kotor?” tanya Syam.


Ayah masuk, menaruh tas dan sepatu di tempatnya. Dan sekarang Zia menangis dan berlindung di balik kakaknya.


Syam kembali bertanya, “Ayah marah ga temboknya kotor?”


Ayah menarik napas dalam. “Ayah memang tidak setuju tembok digambar, karena tembok menjadi kotor. Tapi ayah tidak marah.” Ayah mendekati Syam dan Zia.


“Sekarang dengarkan, menggambar itu bagus, tapi harus di buku gambar atau kertas dan tidak boleh di tembok. Kenapa?” kata ayah.


Keduanya diam dan Zia mulai berhenti menangis.


“Kalau tembok penuh dengan gambar dan kotor, rumah kita akan terlihat kumuh dan tidak cantik.” Ayah menjelaskan.


“Kalau rumah tidak cantik, teman-teman kakak dan adek akan malas berkunjung ke sini. Kalau teman-teman kakak dan adek malas ke sini, ulang tahun kakak dan adek jadi sepi, kan!”


“Mengerti?” tanya ayah. Keduanya mengangguk. “Ya sudah, mulai sekarang, kalau menggambar harus di mana?” tanya ayah lagi.


“Di buku gambar.” Keduanya menjawab hampir bersamaan dan ayah pergi untuk membersihkan tembok yang kotor itu.


“Hore…ulang tahun..sebentar lagi ulang tahun..” Syam senang, karena memang pekan depan ulang tahunnya akan dirayakan. Zia tersenyum. Dia juga ikut melonjak-lonjak kegirangan.


“Ayo, Dek, kita bereskan mainan. Rumah kita harus selalu bersih dan rapi,” ajak Syam.


“Kalau tidak bersih dan rapi teman-teman kita tidak mau datang, ya Kak?” kata Zia.


Keduanya membereskan mainan dan memungut sampah-sampah kecil yang berserak. Sekarang rumah pun terlihat bersih dan rapi.[]

 
 
 

Comments


Join our mailing list

Never miss an update

© 2023 by Closet Confidential. Proudly created with Wix.com

bottom of page