Temanku, Guruku
- Anak-anak Langit
- Jan 13, 2018
- 5 min read
Oleh: Dede Sulaeman

SAAT ini Luna duduk di kelas empat SD. Dia sulit mengikuti setiap pelajaran di kelasnya. Nilainya selalu buruk. Akhir semester kedua di kelas empat, Bu guru Wulan memanggil Bu Marwati. Bu Wulan memberikan penjelasan panjang lebar tentang kesulitan belajar yang dialami Luna.
Akhirnya, Bu Wulan menyarankan supaya Luna dipindahkan saja sekolahnya ke sekolah lain. Sebab, Bu Wulan tidak bisa membantu Luna yang dianggapnya kelewat susah menangkap pelajaran.
Sepulang dari menemui Bu guru, Bu Marwati terlihat murung. Beliau sebenarnya tidak ingin memindahkan anaknya ke sekolah lain.
Anaknya sedang menyukai sekolah itu. Takut malah kalau dipindahkan, akan kacau lagi belajarnya. Tetapi, memang tidak bisa disangkal, Luna sulit mengikuti pelajaran di sekolah yang sedang ia senangi itu.
“Tadi siang menemui Bu Wulan ya, Bu?”
“Ibu dipanggil ke sana.”
“Ada apa dipanggil Bu Wulan?”
“Katanya kamu kesulitan belajar.”
Luna hanya diam saja. Dia merasa apa yang dikatakan Bu Wulan pada ibunya memang benar. Tetapi, memang Luna tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Semua kemampuannya sudah dikerahkan. Tetapi hasilnya, tetap tidak bisa. Memang beberapa pelajaran bisa diikutinya, tetapi pelajaran menghitung sulit diikutinya.
Bu Marwati terlihat sedih. Dia tidak ingin menceritakan pada Luna bahwa Bu Wulan menyarankan supaya anaknya dipindahkan sekolahnya. Bu Marwati tidak ingin Luna kecewa dan tidak mau sekolah sama sekali.
“Lalu, Bu Wulan bilang apa lagi, Bu?” tanya Luna lagi.
“Tidak bilang apa-apa…” Bu Marwati masih tidak mau menceritakan yang sebenarnya. Beliau tidak ingin anaknya patah semangat.
“Katakan saja, Bu. Luna akan baik-baik saja.”
“Tidak, Nak. Bu Wulan tidak bilang apa-apa…”
“Berarti Luna masih bisa sekolah di sana kan, Bu?”
“Iya. Bisa, sayang.” Bu Marwati tidak tega mengatakan yang sebenarnya pada Luna. Padahal Bu Marwati harus bisa menjamin, pada semester depan, nilai Luna harus bagus.
Sebab, kalau tidak, Luna terpaksa harus rela tidak naik kelas atau pindah sekolah. Dan, bagaimana Bu Marwati meyakinkan ini pada Bu Wulan?
“Anakku, bagaimana belajarmu pada semester depan nanti?” tanya Bu Marwati.
“Aku masih memikirkan caranya, Bu.”
“Bagus. Kalau sudah tahu caranya, kasih tahu ibu ya,” ibunya kini, bersemangat. Beliau bersemangat karena melihat anaknya bersemangat. Walau pun Luna memiliki kekuarangan, tapi semangatnya tetap menyala terang.
Hari Senin, sekolah masuk kembali. Anak-anak kelas empat sedang duduk rapi di kelas. Pada semester ini Luna harus memiliki nilai yang bagus. Tapi, dia masih belum menemukan caranya. Bu Wulan pun tidak tahu caranya.
“Hey, Luna kenapa diam saja? Tidur, ya?” ejek Sumbar tiba-tiba.
“Kayaknya kamu harus pindah ke sekolah yang ada tempat tidurnya, deh,” ujar Joni menimpali.
Luna hanya diam saja. Memang kebiasaan teman-temannya yang nakal suka meledek. Dia ingin menjawab bahwa dia tidak tidur. Tetapi percuma saja. Teman-temannya itu memang sedang mengolok-olok.
Mereka juga tahu kalau Luna tidak tidur. Hanya matanya saja seperti terpejam. Luna memang memiliki bola mata yang begitu kecil, lebih kecil dari anak-anak normal di tempatnya sekolah.
Uh, dasar anak-anak nakal! Susah. Inginnya membuat masalah. Menjaili orang. Membuat orang lain susah saja. Mungkin sekujur tubuh mereka akan gatal kalau tidak membuat orang lain susah.
Satu pekan Luna masuk sekolah. Dia masih kesulitan belajar. Bu Wulan pun bingung. Sepulang sekolah dia dijemput ibunya pulang ke rumah. Memang setiap hari Luna dijemput.
Takut kalau-kalau tertabrak kendaraan. Maklum, Luna adalah anak satu-satunya. Dan Bu Marwati sangat menyayanginya.
Siang itu Luna meminta ibunya untuk tidak menjemput. Dia akan pulang bersama Tika, teman sekelasnya.
Luna pun ingin bermain dulu ke rumah Tika. Rumahnya memang bersebelahan dengan Luna. Walaupun merasa khawatir, Bu Marwati membolehkannya. Sebab, Luna memaksa.
Sambil berjalan, Luna mengobrol dengan temannya itu. Tika memang termasuk anak yang baik. Selain pintar, Tika juga suka menolong. Dan, malam ini Luna merencanakan akan belajar dengan Tika.
“Terima kasih, ya. Kamu mau menolong aku,” sambil tertatih-tatih berjalan, Luna berjingkrak-jingkrak. Ia merasa senang. Selama ini, dia selalu merasa kebingungan belajar. Sekarang ada teman yang baik akan menemaninya belajar.
Tidak terasa. Mereka berjalan sudah mendekati rumah masing-masing. Lalu, Luna berpamitan untuk pulang ke rumah. Keduanya berpisah di jalan itu. Tepat di depan rumah Luna.
“Sekali lagi, terima kasih, ya. Nanti malam aku ke rumahmu.”
“Sama-sama. Ditunggu, ya, Lun.” Setelah berpamitan, Tika segera pulang ke rumahnya. Dia akan memberitahu ibunya tentang Luna yang akan menginap di rumahnya.
Dia akan belajar Matematika dan pelajaran-pelajaran lainnya bersama Luna. Dia belum pernah belajar bersama. Kali ini dia akan merasakan suasana belajar yang sama sekali berbeda.
Dia akan membayangkan menjadi guru yang berdiri di depan, mengajari anak-anaknya. Bedanya dia hanya mengajar satu orang murid. Luna adalah muridnya. Hus, Tika hanya berpura-pura, kok. Yang benar, dia akan belajar bersama Luna.
Tetapi, dia sempat membayangkan, seorang guru yang ramah yang mengajari anak didiknya dengan cara belajar bersama. Wah, menyenangkan. Kalau boleh, dia meminta dalam khayalannya, guru itu adalah dirinya.
Asyik dong, ada guru yang mengajak anak didiknya belajar bersama.
Selepas Magrib, Luna datang diantar oleh ibunya. Tasnya penuh dengan buku-buku pelajaran. Ya, mulai malam ini Luna akan belajar dengan Tika.
“Mari masuk, Bu.” Bu Yani mempersilahkan tamunya masuk. Bu Yani adalah ibunya Tika.
“Iya, terima kasih… saya mau menitipkan anak saya. Katanya ingin belajar bersama. Maklum, kalau merepotkan ya, Bu.” Bu Marwati ramah.
“Tidak apa-apa, Bu. Mari, Nak Luna, masuk saja,” Bu Yani pun ramah.
Malam itu keduanya terlihat sangat tekun. Tika membaca buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan suara nyaring. Sementara Luna menyimaknya dengan sangat hati-hati. Dia tidak mau apa yang dibaca oleh temannya itu tidak tertangkap oleh pendengarannya.
Sampai satu bab selesai. Di akhir bab, Tika membaca beberapa pertanyaan mengenai pelajaran yang sudah dibaca itu. Pertanyaan pertama, Luna bisa menjawabnya, walaupun masih belum lancar.
Karena dia harus mengingat-ingat lagi apa yang telah dibacakan oleh Tika. Pertanyaan kedua dan seterusnya pun begitu. Tetapi, semangatnya terus menyala-nyala.
Dia memang sangat menyukai belajar dengan membaca pelajaran dengan suara nyaring. Menurutnya, membaca dengan nyaring, sama saja dengan menghafal pelajaran.
Ternyata Tika lebih banyak menangkap pelajaran daripada Luna. Oleh karenanya, dia merasa senang belajar dengan Luna. Keduanya sama-sama tekun. Setiap hari mereka selalu belajar bersama, kecuali hari libur.
Sekarang, Luna dan Tika, bergantian saling menginap. Dua hari Luna menginap di rumah Tika dan dua hari Tika menginap di rumah Luna.
Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Luna bertambah pandai. Begitu pun Tika. Tika malah semakin menguasai pelajaran, jauh lebih pandai dibandingkan dengan teman-teman lainnya di kelas.
Ujian tengah semester tiba. Keduanya sudah bersiap dengan materi-materi yang sudah dipelajari. Ujian itu mereka selesaikan dengan baik.
Hanya saja Luna masih sedikit kesulitan mengerjakan soal-soal Matematika. Tetapi secara keseluruhan, Luna tidak banyak kesulitan mengerjakan soal-soal tersebut.
Kini, Luna sudah banyak perkembangan. Selama ini dia selalu merasa malu dan takut melihat guru menerangkan di depan kelas. Apalagi saat Bu Wulan bertanya padanya.
Saat itulah keringatnya mengalir dari pori-pori kulitnya, dari kepala hingga kaki. Teman-temannya pun akan menertawakan ucapan Luna yang terbata-bata.
Bila keadaannya begitu, Luna akan merindukan toilet. Di sana dia akan menangis sekeras-kerasnya. Melepaskan perasaan takut dan malunya.
Tetapi sekarang, dia mempunyai teman yang bisa dijadikan guru. Luna pun bisa belajar nyaman. Semangatnya terpacu dengan sendirinya.
Dia bahkan memiliki hobi baru, yaitu belajar. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan belajar. Ini berkat kerjasama yang baik.
Ujian semester akhir telah usai. Semua orang tua murid dipanggil untuk menerima raport. Bu Marwati harap-harap cemas.
Dia mengkhawatirkan anaknya tidak lulus. Lalu tidak naik kelas. Akan mengulang pelajaran di kelas empat lagi atau pindah ke sekolah lain.
“Baiklah, para orang tua wali murid yang terhormat. Saya wali kelas empat, akan membagikan raport anak-anak ibu dan bapak. Saya harap, yang dipanggil nama anaknya, mohon maju untuk mengambil raport.”
Bu Wulan memulai acara pembagian raport dengan penuh wibawa. Suaranya nyaring dan lantang. Tegas.
Semua orang tua murid menyimak setiap kata yang diucapkan Bu Wulan dengan hati-hati. Mereka tidak ingin nama anaknya terlewat disebutkan.
“Saya akan memulai dengan susunan rangking. Dimulai dari peringkat pertama hingga terakhir,” ujar Bu Wulan lagi. Semua harap-harap cemas.
Bu Marwati tampak cemas. Beliau tidak mengharapkan anaknya menempati peringkat kelas. Hanya mengharapkan anaknya lulus. Berapa pun peringkatnya. Lulus. Itu saja.
“Peringkat pertama… Kartika…” Bu Yani langsung ke depan kelas. Beliau sangat bangga dengan anaknya. Tika memang terus memertahankan peringkat kelasnya di nomor satu.
“Peringkat kedua… sebentar ya, ibu, bapak…” Bu Wulan seperti mencari-cari raport peringkat keduanya.
“Saya ulangi… peringkat kedua… diraih oleh Revoluna…”
Bu Marwati terbengong-bengong. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Beliau masih bertanya-tanya, apakah betul yang dikatakan Bu Wulan tadi.
“Bu Marwati, silahkan ke depan.”
“O, Iya, Bu, Revoluna anak saya, ya?”
“Iya, Bu. Silahkan maju.”
Bu Marwati mengucap syukur. Anaknya bisa membanggakan. Kini, semua kekhawatirannya terjawab. Ternyata, anaknya bukanlah anak yang bodoh.[]
Comments