top of page
Search

Detektif Cilik

  • Writer: Anak-anak Langit
    Anak-anak Langit
  • Jan 13, 2018
  • 7 min read

Oleh: Dede Sulaeman

USAI sekolah Pasha tidak langsung pulang. Ia bermain-main dulu bersama teman-temannya di pinggir sungai besar. Tempat itu termasuk jauh dari penduduk. Tapi di sana memang tempat yang asyik untuk bermain di alam.


Dan mereka sangat tertarik dengan banyaknya capung dengan warna-warna menarik. Biasanya, capung-capung itu bertengger di batang rumput benggala yang tinggi.


Padahal, ibu beberapa kali melarangnya. Tapi, tetap saja mereka melakukan itu.

Capung-capung itu ditangkap dengan sebatang bambu yang ujungnya dilumuri getah pohon kedongdong. Ujung bambu itu ditempelkan pada capung yang sedang terlelap itu.


”Ayo, kita ke arah sana!” seru Pasha sambil mengarahkan telunjuknya ke arah belokan sungai yang banyak ditumbuhi rumput besar.


Ada seekor capung yang bertengger di batang rumput besar. Warnanya kuning keemasan. Indah dan menarik. Dengan sangat hati-hati Pasha mendekatkan ujung tongkat pada capung itu.


”Horee.. kena!” Pasha berteriak senang.


Tiba-tiba.


”Heh, siapa itu?” teriak seorang laki-laki dewasa seperti terusik oleh teriakan Pasha. Dari balik semak yang tinggi itu muncul tiga orang bertampang seram. Yang satu berbadan besar dengan kumis tebal dan kepala botak. Yang dua lagi bertubuh kurus dan berambut lebat tak terurus.


”Tangkap anak-anak itu!” seru si kumis tebal. Dengan sigap si kurus dan si gondrong berusaha menangkap Pasha dan kedua temannya.


Ketiga anak itu kaget dan terlihat gemetaran. Tetapi mereka masih bisa berlari menghindari tangkapan kedua orang tersebut. Anak-anak itu berlari cepat. Mereka tidak mengira kalau akan ada penculik di sana.


Tiba-tiba. Gdebug! Adlan terjatuh. Kakinya tersandung batu yang tak sempat ia lihat. Darah mengalir di sekitar lutut kanannya.


Pasha dan Pandu berhenti dan melihat ke belakang. Adlan meminta tolong.


”Pan, kita bantu Adlan. Ayo, cepat!”


”Tapi… hey, lihat penculik itu sudah mendekati kita. Ayo, kita lari saja!” Pandu ketakutan. Dia ingin Pasha berlari saja dulu. Biarkan Adlan tertangkap. Dan mereka akan melaporkan kepada pihak keamanan desa atau polisi. Biar gerombolan itu ditangkap sekalian. Dan, Adlan bisa diselamatkan. Begitu pikirnya.


”Tidak, Pan. Adlan harus segera diselamatkan. Sekarang…” Pasha berlari, kembali pada Adlan yang duduk sambil memegangi lututnya. Dia khawatir kalau-kalau penjahat itu tega membunuh sahabatnya itu.


Cepat. Pasha langsung menarik tangan Adlan. Akhirnya, Pandu memutuskan untuk membantu Pasha menuntun Adlan berlari kembali. Keduanya mengapit kiri kanan tangan Adlan. Tak ada kata lagi yang diucapkan ketiganya. Hanya terdengar tarikan napas satu-satu. Keringat terus bercucuran tak terasa lagi oleh mereka.


Adlan yang terlihat kesakitan dan ketakutan itu bangkit dengan bantuan temannya. Dan, Adlan masih gemetaran. Tapi, setelah tangan Pasha dan Pandu meraihnya, dia seperti memiliki kekuatan lagi untuk berlari.


Kini, rasa sakitnya tak dihiraukan lagi. Dia akan berlari sejauh-jauhnya bersama temannya, Pasha dan Pandu. Tak ada hal yang dipikirkan oleh mereka, kecuali lari, lari, dan lari.


Mereka ingin cepat keluar dari perkebunan itu. Ingin lepas dari kejaran para penculik. Daerah itu memang landai. Tetapi tanahnya penuh batu, terjal. Hal ini membuat ketiga anak itu sukar berlari cepat. Mereka tergopah-gopah menyusuri jalan setapak. Napasnya ngos-ngosan.


Beberapa meter lagi kedua penjahat itu menggapai ketiganya. Tangan si rambut gondrong sudah hampir meraih pakaian seragam putih yang dikenakan Adlan.


Dan… Breett! Tangan yang memang panjang dan kuat itu menangkap kerah belakang seragam sekolah Adlan. Seketika, tubuh Adlan tertahan. Sementara tangan kiri kanannya yang masih dipegang oleh Pasha dan Pandu mengalami hentakan yang cukup kuat.


Pegangan Pasha dan Pandu terlepas. Mereka terpelanting dan jatuh tersungkur. Belum sempat mereka bangkit dan berlari kembali, si krempeng datang dan langsung membekuk keduanya.


Adlan meringis menahan sakit. Begitu pun Pasha dan Pandu. Kini, ketiganya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali pasrah. Pandu terlihat gemetaran. Keringat terus membanjiri kepala dan seluruh tubuhnya.


Sementara Adlan diam saja. Tubuhnya kaku. Beberapa saat dadanya naik turun. Dan, tangisnya pecah. Dia memanggil-manggil mamanya.


”Heh, diam! Berisik!” si kurus melotot sambil memegang tangan Adlan keras-keras. Tangis Adlan bertambah keras. Dia benar-benar tegang. Raut mukanya meringis. Ketakutan.


”Jangan meraung, anak penakut. Awas! Kalau kau tetap meraung, kau akan kuikat di tengah hutan itu. Biar dimakan harimau. Mau, kau dimakan harimau?” si botak tiba-tiba muncul dengan seringainya. Dia membentak-bentak Adlan sambil menunjuk ke arah hutan yang lebat di seberang sungai itu.


Adlan diam. Berangsur-angsur, suara tangisnya mengecil. Hanya air matanya saja yang terus mengalir. Dan, kulit mukanya yang putih, menjadi merah dan pucat.


”Cepat, ikat ketiganya!” perintah si botak.


Tak menunggu lama, keduanya langsung mengikat Pasha, Pandu, dan Adlan. Mereka diikat menjadi satu. Tali yang besarnya setara dengan ibu jari tangan orang dewasa itu melilit di bagian pinggang dan tangan mereka. Ketiganya disatukan dalam ikatan itu.


”Sekarang kita bawa ke markas. Jangan sampai ada orang yang tahu!” si botak berkumis tebal itu memerintah lagi. Dia kemudian bergegas ke arah tempat yang disebutnya markas. Ke arah utara dari tempat itu.


Dan, kedua anak buahnya itu langsung membawa Pasha, Pandu, dan Adlan. Sesekali si kurus membentak anak-anak itu karena berjalan terlalu lamban. Dan, kenyataannya, mereka tidak bisa berjalan cepat, sebab jalanannya terjal.


Tiba-tiba, Pandu berteriak meminta tolong. Suaranya melolong keras. Dari kejauhan, terlihat seorang petani yang sedang berjalan sambil membawa cangkul di pundaknya.


Belum sempat petani itu menoleh ke arah mereka, dengan cepat si kurus dan si gondrong menjatuhkan ketiganya. Sraakk! Mereka terjatuh masuk ke dalam semak-semak yang tinggi. Dan, petani itu tidak bisa melihatnya.


Plaak! tangan si kurus melayang dan mendarat tepat di pipi kiri Pandu. Pandu meringis menahan sakit. Tangan itu begitu keras menyentuh pipi. Sehingga berwarna merah kehitaman tampak di pipi Pandu. Tangan itu membekas di sana.


Ketiganya diam. Si botak kembali ke belakang menuju anak-anak yang ketakutan itu.


”Mana anak yang berteriak tadi?” serunya sambil melotot ke arah si kurus, lalu ke arah anak-anak itu. Si kurus langsung menunjuk Pandu. Pandu gemetaran. Keringat terus bercucuran membasahi tubuhnya. Dan, tak sadar, ia menggigil.


Si botak langsung mencengkram seragam sekolah Pandu, tepat di bagian dadanya. Mulutnya komat-kamit memarahi Pandu. Dia juga mengancam kepada ketiganya, kalau berani lagi berteriak, mereka akan dijadikan makanan harimau. Semua tidak ada yang berani bersuara.


Kemudian, si plontos memerintahkan anak buahnya untuk segera membawa mereka ke markas. Mereka bergegas menuju sebuah rumah sederhana yang berada di tengah hutan yang jauh dari perkampungan itu.


Sampailah mereka di sebuah rumah sederhana. Di dalamnya ada beberapa kursi yang terbuat dari kayu. Dan sebuah meja kayu yang terlihat kotor, tidak terurus.


Si kurus dan si gondrong membawa anak-anak itu ke ruang belakang. Setelah melepaskan tas gendong anak-anak itu, mereka melemparkan tas dan mengikat mereka kembali. Lalu, kembali ke ruang depan.


Anak-anak itu ditempatkan di sebuah ruang, semacam gudang. Tempat itu sempit dan kotor. Hanya ubin yang tak pernah diberesihkan, menjadi alas bagi mereka.

Setelah itu, keduanya kembali ke ruang depan.


”Apa yang akan kita lakukan pada anak-anak itu, Bos?” setelah duduk di kursi si kurus langsung bertanya pada bosnya.


”Menurutmu, bagaimana, Har?” si botak malah bertanya balik.


”Mereka sudah aman, Bos. Kita tidak perlu khawatir lagi. Mereka tidak bisa membocorkan semua rahasia bisnis kita. Kita bunuh saja, lebih aman.”


”Menurutmu, Man?” si botak menengok ke arah si kurus. Namanya Herman.


”Begini saja, Bos…” Herman seperti sedang berpikir. Yang disebut bos merasa tertarik, diam menyimak. Beberapa saat ditunggu, tak ada kata-kata lagi dari Herman. Lama tak ada jawaban.


Si botak tak sabar. Suaranya menggeram hebat.


”Jadi, begini, Bos…” Herman diam lagi. Dia seperti sedang berpikir keras.


Akhirnya, ”aha… tampaknya aku setuju dengan Suhar, Bos…” Herman menjawab santai seperti tak punya salah.


”Dari tadi, kau cuma mau mengatakan begitu. Sialan!” si botak langsung mendorong kepala Herman. Dan, kepala itu melecut ke belakang. Herman menahannya hingga dia tidak terjatuh. Suhar nyengir melihat tingkah temannya.


Ya, keduanya berteman dan sama-sama menjadi anak buah Pak Subondo. Pak Subondo inilah yang menjadi bos mereka. Pak Subondo adalah seorang pengedar Narkoba di daerah itu. Dia sering melakukan jual beli barang terlarang itu di tempat yang sepi seperti tempat itu.


* * *


Di rumah, orangtua Pasha, Adlan, dan Pandu, sedang menanti-nanti pulangnya anak mereka. Perasaan cemas dan takut menyerang mereka. Takut kalau anak-anak mereka celaka. Sebab, menurut cerita beberapa temannya, sepulang sekolah mereka pergi ke daerah hutan, mencari capung.


Hari sudah beranjak menuju sore. Sebentar lagi langit gelap. Tetapi mereka belum juga pulang. Akhirnya ketiga ibu itu melaporkan pada Pak Ramlan, ketua RT di desa itu.


Pak Ramlan mulai sibuk. Beliau dan Pak Hansip mengerahkan beberapa pemuda untuk membantu mencari anak-anak itu. Ternyata, tidak hanya para pemuda yang ikut mencari, bapak-bapak juga sangat bersemangat membantu mencari.


Perkebunan yang diduga menjadi tempat bermain anak-anak itu disisir habis. Setiap ada semak yang tinggi mereka geledah. Tapi tidak ada. Mereka tidak diketemukan jejaknya. Hari sudah benar-benar gelap. Mereka kembali ke rumah masing-masing. Tak ada hasil. Akhirnya Pak RT melaporkan hal itu pada kepolisian.


* * *


Suara cekakakan terdengar di ruang tengah. Pasha memberi isyarat pada kedua temannya untuk tenang. Dia sedang mendengar pembicaraan di ruang tengah sana.


”Dengar… gawat…”


”Gawat kenapa, Pasha?” Pandu pun penasaran.


”Ternyata mereka itu gembong pengedar Narkoba di wilayah ini. Dan, menurut yang kudengar tadi, kita akan dibunuh dan dikubur di hutan sana.”


”Ah, apa benar begitu? Kalau mereka hanya pengedar Narkoba, kenapa harus menangkap kita? Apa untungnya bagi mereka?” Pandu bertanya lagi.


”Karena mereka khawatir kita akan melaporkan kegiatan mereka pada polisi. Mereka tidak ingin ada yang tahu. Makanya, kita ditangkap.” Dengan serius Pasha menduga-duga.


Pandu merasa yakin apa yang dikatakan Pasha itu benar.


Adlan meringis, ketakutan. Badannya berguncang hebat. Air matanya terus meleleh. Ia sesenggukan. Suara tangisnya ditahan, supaya tidak terdengar oleh penjahat-penjahat itu.


”Sekarang apa yang akan kita lakukan?” tanya Pandu lagi.


Pasha memeras otaknya. Dia berpikir keras bagaimana caranya bebas dari jeratan tali itu.


Tiba-tiba, ”aha… aku ingat sekarang. Di tasku ada gunting besar. Kita harus bekerja cepat. Mungkin mereka akan segera membawa kita ke hutan,” kata Pasha mengingatkan kedua temannya.


Pasha dan Pandu langsung menengok ke arah tas mereka di pojokan ruang itu. Tas itu memang dilepas Herman dan Suhar ke pojok ruangan itu. Kemudian mengikat anak-anak itu lagi dan meninggalkannya.


”Kita bergeser sedikit-sedikit,” seru Pasha.


Kaki Pasha mengulur mendekati tas itu. Tidak terlalu sulit. Tas itu dikait oleh kakinya. Dan, gunting itu diambilnya dengan susah payah. Sebab, tangannya terikat. Tapi, ternyata tangan mungilnya masih bisa menjangkau gunting itu.


Sekarang, Pasha mulai menggunting tali yang cukup besar itu. Beberapa menit tali itu baru bisa putus. Dengan cepat dan sangat hati-hati, Pasha mulai menggunting pangkal ikatan pada Pandu dan Adlan.


”Hey, sedang apa kau anak sialan. Mau coba kabur ya…” teriak Suhar mengagetkan Pasha yang sedang berusaha keras membuka tali itu.


Melihat keadaan itu, Pasha langsung berlari dan menjebol pintu belakang yang hanya dikunci selot saja. Dia berhasil keluar dan kabur menembus kegelapan.


Setelah memastikan ikatan tali pada Pandu dan Adlan masih kuat, mereka serentak mengejar Pasha yang berhasil kabur. Beberapa meter jaraknya, mereka kehilangan jejak.


Ternyata, Pasha berlari begitu cepat. Maklum saja, di sekolah, Pasha adalah pelari tercepat di antara teman-temannya. Pak Gunawan, guru olah raga di sana pun sering memuji kehebatan Pasha dalam berlari.


Kedua penjahat itu panik. Bagaimana melaporkan kejadian itu pada bosnya. Lalu mereka kembali ke rumah itu.


Selama hampir satu jam, keduanya dibentak-bentak. Pak Subondo benar-benar marah.

Dan, tiba-tiba, ”jangan bergerak! Polisi sudah mengepung tempat ini! Kalau tidak ingin kami tembak, menyerahlah kalian!” pintu depan dan belakang didobrak oleh puluhan polisi dengan senjata di tangan.


Akhirnya, ketiganya ditangkap dan dibawa ke kepolisian untuk dihukum. Hukumannya berat, sebab, mereka terbongkar sebagai gembong pengedar Narkoba yang cukup besar.


Tidak lupa, pihak kepolisian memberikan tanda ucapan terima kasih dan penghormatan kepada detektif kecil yang berani. Sejak saat itu, ketiganya berangan-angan dan memutuskan untuk bercita-cita menjadi detektif.


”Aku anak berani…” seru Adlan dengan raut berseri. Pipinya yang gempal, mengembang. Dia benar-benar berseri.[]

 
 
 

Comentarios


Join our mailing list

Never miss an update

© 2023 by Closet Confidential. Proudly created with Wix.com

bottom of page