Kejadian yang Tidak Disangka
- Anak-anak Langit
- Jan 13, 2018
- 6 min read
Oleh: Dede Sulaeman

PAK Wawan berniat akan pulang ke kampung halamannya di Bandung pada liburan semester ini. Wali kelas lima itu memiliki toko buku yang harus ditunggui.
Sebab, kalau toko itu ditutup, penghasilan yang setiap harinya besar, bisa hilang begitu saja. Belum lagi para pelanggan akan merasa kecewa, terutama yang tidak bisa membeli majalah kesukaannya di sana.
Di desa itu memang tidak ada toko buku lain selain toko milik Pak Wawan. Di sana dijual juga majalah-majalah yang terbit bulanan.
Lima hari lagi libur sekolah dimulai. Pak Wawan masih kebingungan mencari anak yang bisa membantunya menunggu toko buku.
Ia terus berpikir bagaimana cara menentukan anak yang bisa dipercaya. Tentu saja Pak Wawan akan memilih anak di kelas yang ia bimbing.
Tetapi ia belum bisa menentukan bagaimana caranya. Selepas mengawas ujian mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, Pak Wawan duduk di kursi ruang kantor sekolah. Saat itu memang waktunya istirahat. Anak-anak di kelas pun berhamburan ke kantin sekolah.
Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya. Wajahnya ceria. Ia menemukan ide untuk menyeleksi anak yang akan dipercaya untuk menunggui tokonya.
Pertama, Pak Wawan akan menentukan anak-anak yang tergolong kurang mampu secara ekonomi. Di kelas itu ada lima anak yang tergolong kurang mampu.
Ya, beliau sudah mendapatkannya. Budi, Doni, Indra, Farhan, dan Arul. Mereka adalah kelima anak itu. Dari lima anak itulah akan dipilih satu orang.
Saatnya kelima anak itu dipanggil. Sore itu kelima anak itu harus datang ke rumah Pak Wawan yang tidak terlalu jauh dari sekolah. Kelimanya sangat senang sebab mereka tahu, Pak Wawan itu terkenal baik. Dermawan.
“Kira-kira, ada apa Pak Wawan memanggil kita, ya?” Doni memulai pembicaraan sambil berjalan dengan empat orang temannya.
“Aku rasa Pak Wawan, akan memberi kita sembako.” ujar Farhan sekenanya.
“Menurutmu bagaimana, Rul?” Indra penuh tanya.
“Wah, aku tidak bisa menduga, Dra. Sebaiknya kita cepat-cepat supaya tidak terlambat.” Arul mempercepat langkahnya.
Mereka terlihat kompak. Sebab kelimanya memang sudah saling akrab dan saling tolong. Dan, sampailah mereka di rumah Pak Wawan. Mereka dipersilahkan masuk dengan ramah.
Sambil mempersilahkan anak-anak didiknya meminum teh hangat yang telah disediakan, Pak Wawan mulai mengutarakan niatnya.
“Nah, anak-anakku yang baik, bapak ingin memberi kalian beras, masing-masing lima liter. Berikanlah pada ibu kalian supaya bisa dimasak.
Dan, ini, coklat masing-masing kalian ambil satu. Makanlah coklat itu. Tapi satu hal harus kalian ingat. Saat memakan coklat, kalian harus memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya.” Demikian penjelasan Pak Wawan panjang lebar.
Kelima anak itu mengangguk dan mengambil beras dan coklat.
“Sekarang, kalian boleh pulang ke rumah masing-masing. Jangan lupa, sampaikan salam bapak pada orangtua kalian.”
“Terima kasih, Pak. Kalau begitu, kami mohon pamit.” Arul mewakili keempat temannya yang terlihat ceria. Lebih ceria dari biasanya.
Mugkin mereka membayangkan, bagaimana orangtuanya senang saat beras itu diberikan dan tahu dari Pak Wawan. Di samping itu, coklat yang terlihat enak itu, akan menjadi santapan empuk selepas makan malam.
Bahkan, Doni merencanakan akan memakannya setelah sampai di rumah. Tetapi, tentu saja dia akan menyembunyikan coklat itu dari adik, juga ibu-bapaknya.
Akhirnya, sampailah mereka di rumah masing-masing. Betul saja, orang tua mereka merasa senang dan dihormati oleh Pak Wawan. Itu menandakan, guru kelas anaknya sangat perhatian pada anak-anaknya.
Arul sengaja menunda memakan coklat itu. Dia menyimpannya di dalam tas sekolahnya. Sepulang mengaji, Arul duduk di kursi tempat belajar.
Dia mulai membuka pelajaran Bahasa Indonesia. Karena pelajaran itu dan Ilmu Pengetahuan Sosial yang akan diujikan besok. Setelah selesai mempelajari keduanya, dia teringat dengan coklat yang tadi sore diberikan Pak Wawan.
Mulutnya mulai menguap. Dia mulai mengantuk. Diambilnya coklat itu dari dalam tas. Arul membukanya.
Dan, ia tiba-tiba teringat kata-kata Pak Wawan, Makanlah coklat itu. Tapi satu hal harus kalian ingat. Saat memakan coklat, kalian harus memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya.
Dia mulai ragu. Hatinya menjadi tidak yakin kalau dirinya tidak diawasi. Ibunya memang sudah tidur. Tapi, Arul merasa ada yang memerhatikannya. Hatinya mulai tidak tenang. Dia terus bertanya, apa ada orang yang melihatnya.
“Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja?” gumamnya pelan.
Dia masih memegang coklat itu. Dia merasa ragu. Kata-kata Pak Wawan kembali terngiang di telinganya. Dan, dia mulai mengingat-ingat sesuatu. Apa itu? Ucapan ustaz Ahmad tentang Allah SWT yang Maha Melihat.
Ya, Arul baru sadar bahwa tidak mungkin Allah SWT tidak melihatnya. Sekarang dia yakin, Allah SWT yang maha tahu, akan selalu melihat apa saja yang ia perbuat.
Dan, Allah tidak bisa dibohongi. Saksinya adalah hati nuraninya yang terus ragu ketika coklat itu akan dikunyahnya.
Ia pun mengurungkan niatnya, memakan coklat itu. Besok ia akan mengembalikannya pada Pak Wawan. Barulah Arul tidur dengan pulas.
Seperti biasa, pagi-pagi sekali, Arul memacu sepeda untuk mengantar dagangan ibunya ke warung-warung. Setelah sarapan, ia bergegas ke sekolah. Ia tidak mau terlambat. Hari itu memang masih ada ujian akhir semester sampai besoknya.
Tidak lupa, coklat yang akan diserahkan kembali pada Pak Wawan sudah dibungkus kantong plastik kecil dan dimasukkan ke dalam tasnya.
Keringat bercucuran membasahi rambut dan kening Arul. Dia telah menyelesaikan ujiannya dengan baik.
Arul tergesa, setengah berlari mengejar Pak Wawan yang berjalan cepat ke kantor sekolah.
“Pak Wawan, tunggu. Tunggu sebentar.” Arul menghampiri wali kelasnya itu.
Pak Wawan menghentikan langkahnya.
“Ada apa, Rul?” tanya Pak Wawan kemudian.
“Mm.. ini, Pak. Saya mau mengembalikan coklat yang kemarin bapak berikan.”
“Lho, memangnya kenapa, Rul? Kamu tidak suka coklat?”
“Bukan, Pak. Saya tidak bisa memakannya, karena selalu ada yang melihat. Allah selalu melihat.” Arul mantap.
“Oo..” Pak Wawan pura-pura tidak tahu.
“Ini Pak coklatnya.” Akhirnya Arul menyodorkan coklat itu.
“Hmm… Begini saja. Sekarang makan saja coklat itu. Bapak tidak memberikan syarat lagi.”
“Horee… Kalau begitu terima kasih, Pak.” Arul gembira. Dia langsung membuka bungkus coklat itu. Hampir saja tangannya menyorongkan coklat itu ke mulutnya.
Dia teringat pesan ibunya kalau memakan sesuatu itu harus membaca basmalah dan duduk. Urung. Coklat itu dimasukan lagi ke dalam tas.
Pak Wawan tersenyum.
“Rul, sekarang ikutlah ke ruangan bapak,” ujar Pak Wawan.
Tanpa berkata lagi Arul mengangguk dan bersiap mengikuti orang yang dihormatinya itu.
“Begini, Rul. Liburan ini bapak akan pulang kampung ke Bandung selama satu pekan. Bapak ingin kamu yang menunggu toko buku di rumah. Bagaimana?” Pak Wawan menjelaskan.
“Saya… Apa saya bisa, Pak?” Arul ragu.
“Kamu bisa sambil belajar di sana. Lagi pula toko itu buka dari pukul 08.00 – 17.00 sore. Kamu hanya membereskan buku-buku dan membuka-menutup toko saja. Kamu juga akan ditemani Mbok Karlem. Tidak sesulit mengerjakan soal Matematika.”
“Tapi, Pak.”
“Tapi, kenapa?” desak Pak Wawan.
“Amanah ini terlalu berat buat saya. Bagaimana kalau uang hasil penjualannya hilang? Saya takut, Pak.”
Pak Wawan kaget. Tidak menyangka kalau Arul sampai berpikir ke sana. Tetapi, beliau tetap percaya sepenuhnya pada Arul. Dia pun kembali meyakinkan Arul, tidak akan terjadi apa-apa.
Tibalah saatnya. Arul menjaga toko buku Pak Wawan. Hari itu pertama kali Arul menjaga toko. Hari itu pula Pak Wawan berpamitan pada Arul dan Mbok Karlem, pembantu rumahnya. Beliau berangkat ke Bandung bersama keluarganya.
Menjelang siang. Pengunjung mulai berdatangan, rame sekali. Maklum hari itu adalah pertama kali libur sekolah. Ada yang hanya membuka-buka buku saja. Ada pula yang melihat-lihat sampul majalah terbaru.
Berdatangan lagi. Arul sedikit pusing melihatnya. Karena terlalu banyak orang yang datang. Ada anak-anak SMP, SD, juga SMA. Termasuk teman-teman sekelasnya berdatangan melihat-lihat buku.
Arul mulai kebingungan. Dia kesulitan memerhatikan para pengunjung itu satu per satu. Hari itu Arul tidak tahu kalau ada di antara pengunjung yang memaskukkan beberapa buku ke dalam tasnya dan pura-pura lupa membayarnya. Tidak hanya satu pengunjung, tetapi beberapa pengunjung melakukan itu.
Arul masih terlihat bingung. Pusing melihat lalu lalang. Dia juga ketakutan kalau-kalau ada di antara pengunjung yang membawa buku dan tidak membayarnya. Dia pun mulai gelisah.
Tepat waktu zuhur datang ditandai gema azan mengalun. Satu per satu, para pengunjung berhamburan meninggalkan toko buku milik Pak Wawan itu.
Ternyata, dari sekian banyak orang yang datang, hanya satu orang yang membeli buku. Arul memeriksa buku-buku itu sebelum pergi salat zuhur.
Dia tidak tahu persis ada berapa buku yang berada di sana. Dia hanya melihat buku-buku itu menjadi berserakan.
Setelah memanggil Mbok Karlem untuk menjaga, Arul melakukan salat zuhur dan akan kembali menjaga setelahnya.
Begitu, Arul menjaga toko buku Pak Wawan. Ternyata, beberapa bukunya hilang. Tidak salah lagi, mereka, anak-anak nakal yang mengambilnya.
Hari ketujuh, Pak Wawan dan keluarganya kembali dari Bandung. Arul akan melaporkan hasil penjualnnya. Pukul 16.30 sore, Pak Wawan meminta tokonya ditutup sebelum waktunya. Tiga puluh menit lebih cepat.
Arul segera melaporkan hasil penjualannya. Ada empat buku dan enam majalah yang terjual. Pak Wawan memeriksa buku-buku itu. Sambil melihat catatan, dia menyimpulkan bahwa ada beberapa judul buku yang hilang. Hilang!
“Arul, dalam catatan ini, ada buku-buku yang hilang. Apakah ada yang membeli dan kamu lupa mencatatnya?” akhirnya Pak Wawan menanyakannya.
Perasaan takut dan khawatir mulai menyelimuti Arul. Dia terbengong dengan apa yang dikatakan orang yang memercayainya itu. Dia langsung teringat orang-orang yang datang.
Teringat juga saat dia kebingungan memerhatikan orang-orang tersebut dan memastikan untuk tidak mengambil tanpa membayarnya.
Arul menggigil. Lalu berusaha menceritakan keadaan yang sebenarnya. Dia menahan napas. Jantungnya berdegub kencang.
Dia merasa, langit-langit rumah itu runtuh dan menimpanya. Takut. Merasa bersalah. Lalu diam sambil terus menahan napas. Harap-harap cemas.
“Kamu tidak bersalah, Rul. Kamu hanya tidak hati-hati. Bapak tidak menyalahkanmu. Ini juga kesalahan bapak, sebab sudah menyuruh kamu yang sendirian.
Padahal toko ini besar. Sudahlah. Tidak apa-apa. Kita berdoa saja, suapaya rizki kita bertambah dengan kejadian ini. Bapak ikhlas, kok.” Akhirnya Pak Wawan memecah kesunyian.
Arul sedikit lega. Tetapi dia masih merasa bersalah. Sebab telah membuat sebagian buku milik Pak Wawan hilang.
“Tapi, saya tetap harus mengganti buku-buku yang hilang itu, Pak.” Arul berkata dengan suara berat.
“Sudahlah, Rul. Kamu tidak usah menggantinya.”
“Saya tetap harus mengganti, Pak. Kalau boleh, saya akan bekerja di sini untuk mengganti buku yang hilang itu. Dan bapak tidak usah membayar pekerjaan saya.” Arul tetap memaksa.
Pak Wawan pun akhirnya menyerah. Tetapi beliau tetap memberikan hadiah seragam sekolah yang baru pada Arul. Dan beliau tetap memberikan uang gaji pekerjaannya.
Sejak saat itu, Pak Wawan mengangkat Arul sebagai anak bimbingnya. Arul bisa melanjutkan sekolahnya, dibiayai Pak Wawan.[]
Comments