top of page
Search

Memaafkan Itu Indah

  • Writer: Anak-anak Langit
    Anak-anak Langit
  • Jan 13, 2018
  • 7 min read

Oleh: Dede Sulaeman

SORE hari. Arul sedang bermain di halaman sekolah. Kebetulan, letak rumahnya tidak jauh dari sekolah itu. Sepedanya ia senderkan di sebuah pohon rindang. Asyik sekali Arul memainkan bola plastiknya sendirian.


Beberapa saat Kosim dan Anton datang dengan membawa bola yang asli, terbuat dari karet dan kulit. Bola yang mereka bawa seperti bola yang dimainkan oleh orang-orang dewasa.


“Hey, Arul. Mana bisa kamu menjadi pemain sepak bola,” ejek Kosim.


“Kenapa kamu bilang begitu?” Arul langsung menghentikan permainannya.


“Kenapa? Kamu tahu, bola plastik tidak akan membuatmu pandai bermain sepak bola.” Kosim menjawab dengan sinis.


“Sebaiknya kamu ganti saja dengan bola dari batok kelapa, Rul! Supaya kakimu kuat. Baru kamu menjadi pemain sepak bola hebat.” Anton menimpali sambil tertawa.


Arul hanya diam dan cepat memasukan bolanya ke dalam kantong plastik. Ia segera beranjak dengan sepedanya menuju rumah.


Sambil mengayuh sepeda, Arul menoleh ke arah Kosim dan Anton yang masih cekikikan. Arul merasa kesal dengan sikap usil mereka. Tidak hanya sekali Kosim dan Anton berbuat jail. Beberapa temannya di sekolah, sering kena ulah nakalnya.


Tidak lama. Arul sudah sampai di rumahnya.


“Kenapa kamu murung begitu, Nak?” sapa ibunya, begitu Arul sampai.


Arul hanya tertunduk. Setelah menyenderkan sepeda di samping rumah, dia langsung menuju dapur. Ibunya mengikuti dari belakang, penuh tanya.


Arul segera menuangkan air putih di gelas kecil dan meminumnya.


“Ada apa, anakku?” Bu Maryam kembali bertanya.


“Tidak ada, Bu.” Arul enggan bercerita. Mungkin karena terlalu kesal pada ulah Kosim dan Anton.


“Ayolah, Nak. Ceritakan pada ibu.”


“Kosim dan Anton bikin ulah lagi, Bu.”


“O, ibu kira ada apa. Tidak apa-apa. Biarkan saja, nanti juga mereka capek sendiri.”

“Iya, Bu.” Arul kini terlihat lega.


“Sekarang, makanlah dulu. Sebentar lagi waktu magrib tiba. Sebaiknya lekas mandi dan berangkat ke masjid.” Ibunya menuntun Arul ke meja makan sambil mengusap kepalanya lembut.


* * *


Pagi-pagi sekali Arul sudah berseragam. Badannya terlihat segar. Pukul enam dia biasa mengantar dagangan ibunya ke beberapa warung dengan sepedanya. Bu Maryam membuat nasi uduk dan gorengan untuk dijajakan di warung-warung tetangganya.


Dan, Arul selalu membantu ibunya mengantar dagangan itu sebelum pergi sekolah. Ayah Arul meninggal karena sakit keras dan dokter tidak mampu menolongnya.


Tidak ada jalan lain, Bu Maryam dan anak satu-satunya, harus berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah Arul.


“Bu, nasi uduknya sudah Arul antar semua. Sekarang Arul minta pamit dan doanya.”


Diusapnya kepala Arul dan kemudian ditiupnya. Ada perasaan bangga yang menelusup ke dalam hati Bu Maryam. Dia bangga pada anaknya yang tak pernah minder. Sekali pun harus mengantar dagangannya sebelum pergi sekolah.


Arul memacu sepedanya, cepat. Kebiasaannya, sebelum bel sekolah berbunyi, dia akan membaca buku cerita selama tiga puluh menit di bawah terik matahari pagi.


Menurut cerita dokter dalam buku yang pernah ia baca, sinar matahari pagi, baik untuk pembentukan tulang.


Menurutnya, jika tulangnya kuat, dia akan menjadi pemain sepak bola yang hebat. Dan, membaca, tentu saja akan membuatnya cerdas. Ini akan membawanya pada cita-citanya: menjadi ilmuwan.


Sebentar lagi Arul sampai di gerbang sekolah yang tak pernah dikunci. Saat itulah sebatang bambu yang panjangnya kira-kira tiga meter menerobos jari-jari sepedanya yang sedang dipacu kencang.


Dan, Srraak! Arul terjatuh dari sepedanya. Lutut kakinya membentur aspal. Sementara kedua tangannya menahan beban tubuhnya pada aspal.


Dia meringis. Menahan perih luka lutut dan telapak tangannya yang berdebu. Dua orang anak berlari sambil cengengesan menuju kelas. Mereka tak lain adalah Kosim dan Anton. Anak paling jail di sekolah.


Arul masih meringis menahan perih. Dia juga menahan tangis. Beberapa temannya yang kebetulan lewat, membantunya untuk berdiri dan menuntunnya menuju ruang UKS. Lukanya memang harus segera diberesihkan dan diobati supaya tidak infeksi.


Niatnya untuk membaca buku cerita di bawah sinar matahari menjadi gagal. Setelah bercerita pada teman dekatnya, Indra, ia merasa lega dan melupakan kejadian tadi. Walaupun luka lutut dan tangannya masih membekas, Arul sama sekali tidak mau membalasnya.


Di kelas, Kosim dan teman setianya, Anton, cengengesan ketika Arul masuk sambil terpincang-pincang.


“Lain kali kamu harus hati-hati, anak Yatim.” Kosim langsung berlagak menasehati.


Disebut anak yatim, Arul tertunduk dan seperti menahan perasaan sedih. Kedua bola matanya berkaca-kaca. Tetapi air mata itu tidak jatuh karena Arul menahannya. Sampai bola mata yang putih itu berubah warna menjadi merah.


“Wah, jalanmu sekarang seperti kakek-kakek, Rul.” Anton menimpali.


Arul diam saja dan segera duduk di bangku biasanya ia duduk. Dia merasa ada gumpalan yang mengganjal pada pantatnya. Dia pun bangkit dari duduknya dan segera meraba celananya. Peremen karet yang sudah dikunyah menempel, lengket pada belakang celananya itu.


Kedua anak nakal di kelas itu langsung terbahak puas. Arul memberesihkan tempelan permen karet itu dengan tangannya.


Dan, tentu saja sulit diberesihkan. Walaupun dengan sekuat tenaga, tetap saja permen itu masih melekat seperti lem.


Beberapa saat, Pak Wawan datang ke kelas untuk menyampaikan pelajaran Matematika. Semua hening.


Arul pun cepat membenahi posisi duduknya. Pelajaran pun dimulai sampai waktu istirahat jeda waktu pelajaran tiba. Selama itu, Arul terus menahan rasa kesal dan marah.


Lonceng jeda pelajaran berbunyi. Arul berlari menuju WC sekolah yang letaknya di belakang kelasnya. Di sanalah dia menumpahkan kekesalan dengan menangis.


Kemudian emosinya mereda. Segera ia membasuh wajahnya dengan mengucap basmalah. Dan, mulailah ia berwudlu untuk memberesihkan hatinya.


Cara itu memang sering dinasehatkan ustaz Ahmad saat pelajaran agama di masjid. Ibundanya juga sering memberikan contoh begitu.


Setelah emosinya reda, dia memasang kembali sepatunya. Dan, segera berlari menuju kelasnya. Karena beberapa menit lagi, pelajaran Bahasa Indonesia akan segera dimulai. Dia tidak mau ketinggalan pelajaran bahasa yang menurutnya menyenangkan itu, barang semenit pun.


Pelajaran berakhir. Ya, hari itu pelajaran berakhir kurang menyenangkan bagi Arul. Karena ia harus menangkap pelajaran sambil menahan sakit luka di lutut dan telapak tangannya. Juga menahan perasaan kesal pada kedua teman nakalnya.


Tergopah ia menghampiri sepedanya. Langsung dinaiki. Satu meter ia mengayuh, sepeda itu menjadi terasa berat. Dilihatnya ban sepeda itu. Kedua ban-nya kempes.


“Siapa yang membuatnya begini? Kosim? Anton? Kapan mereka melakukannya? Ah, tidak, tidak. Mungkin ban sepeda ini memang bocor. Atau aku melindas paku tadi pagi sehingga membuatnya bocor…” Arul berusaha berbaik sangka.


Tiba-tiba saja Kosim dan Anton muncul sambil tertawa mengejek. Dan, mereka segera berlari sambil berucap, “Kasiaan deh, lu.”


Arul hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Di dalam hatinya, tetap saja ia merasa kesal. Ia pun menuntun sepeda itu sampai rumahnya.


Hari libur Sabtu dan Minggu telah selesai. Hari Senin, Arul kembali mengayuh sepedanya dengan kencang menuju sekolahnya. Ia sekarang duduk di kelas lima SD Negeri Legon Kulon.


Sampailah ia di depan gerbang sekolah. Sepedanya direm supaya kecepatannya berkurang. Ia mengayuh sepedanya pelan. Bersiap-siap, kalau-kalau Kosim dan Anton berbuat jahat lagi.


Kosong. Tidak ada bambu menjulur. Tidak ada dua anak yang tertawa dan berlari. Aman. Arul merasa plong. Ia segera mengayuh sepedanya menuju tempat parkir sekolah. Khusus parkir sepeda yang telah disediakan.


Setelah melaksanakan upacara bendera, pelajaran pertama dimulai. Tidak ada Kosim, begitu juga Anton. Ke mana mereka? Arul bertanya-tanya.


Usai pelajaran, dia langsung bertanya pada Budi. Budi memang tetangga sebelah rumahnya Kosim dan Anton. Rumah mereka berderetan.


Kalau berjalan dari arah sekolah, yang pertama adalah rumah milik Anton, lalu Kosim, dan rumah milik Budi.


“Ke mana Kosim dan Anton? Apa kamu tahu, Budi?” tanya Arul.


“Mereka sakit,” jawab Budi singkat.


“Sakit? Sakit apa? Sejak kapan?” Arul segera menyerbu dengan pertanyaan.


“Ih, aku jijik melihatnya. Kata ibunya, Kosim sakit cacar. Kulitnya melepuh, penuh koreng. Dan, Anton sakit lever. Dia muntah-muntah terus. Ibunya bilang begitu.” Budi menjelaskan sambil bergidig.


“Di mana mereka sekarang?”


“Di rumahnya. Ibunya memanggil dokter pribadi ke rumahnya. Jadi mereka dirawat di rumahnya.”


“Kamu sudah menengok mereka?”


“Aku tidak berani. Takut tertular. Lagi pula mereka, kan anak nakal. Jadi buat apa menengok?” ucap Budi sambil berlalu meninggalkan Arul.


Mereka sakit? Kosim cacar? Anton lever? Ah, jadi sekarang aku tidak diganggu lagi. Wah, hebat. Allah memang hebat, pikir Arul sambil berlalu meninggalkan kelas menuju tempat di mana sepedanya disimpan.


Arul segera pulang. Pikirannya tertuju pada dua teman nakalnya itu. Dia menjadi ragu apakah akan menengoknya atau tidak.


Arul masih menimbang-nimbang. Mungkin sebaiknya aku tidak menengok mereka. Biarkan saja mereka merasakan penderitaan sakitnya. Biar mereka bisa merasakan penderitaan orang lain. Tentu saja, biar mereka jera, lalu tidak berbuat jahat lagi padaku, pikirannya terus meracau.


Ya, dia akan mengikuti Budi. Lagi pula, mungkin saja apa yang dikatakan Budi benar, kalau penyakit yang diderita Kosim itu menular. Iihhh, mengerikan! Arul bergidig. Dia langsung menuju rumahnya.


Arul sampai di rumahnya yang kecil dan sederhana. Wajahnya masih berseri-seri. Bu Maryam memerhatikannya.


“Ada apa, kamu senyum-senyum, Rul?” Tanya Bu Maryam sambil membereskan perlatan dapurnya.


“Aku sekarang bebas, Bu. Kosim dan Anton sedang sakit. Mereka sakit keras. Jadi, aku tidak diganggu lagi.”


“Memangnya, mereka sakit apa?”


“Kata Budi, Kosim sakit cacar dan Anton lever.”


“Wah, mereka sakit serius, ya?” tanya Bu Maryam lagi.


“Iih, Kosim kulitnya melepuh, Bu. Teman-temannya pun tidak ada yang mau menengok.”


“Kalau begitu, kamu pergi sana, menengok mereka. Kasihan.”


“Aku tidak mau. Aku sudah malas bertemu anak usil seperti mereka.”


“Ee.. Jangan begitu. Mereka kan temanmu juga.”


“Habisnya, mereka nakal, sih.”


“Ingat. Berbuat baik itu jangan pilih-pilih. Masih ingat kan cerita Nabi Muhammad dulu.”

Bu Maryam terus membujuk anaknya supaya mau menengok Kosim dan Anton. Semula, Arul merasa enggan.


Beberapa saat ia teringat cerita tentang Nabi Muhammad SAW yang selalu dilempari kotoran oleh orang usil. Ketika orang usil itu sakit, Nabi menengoknya.


Dan, orang usil itu masuk Islam. Cerita itu memang beberapa kali diceritakan ibunya menjelang tidur. Ustaz Ahmad juga pernah menceritakannya.


Akhirnya, Arul mau pergi menengok. Ia segera memecahkan celengannya yang berbentuk ayam. Setelah membereskan pecahan celengan itu, Arul segera memacu sepeda menuju pasar yang tidak terlalu jauh dari rumahnya.


Dia membeli jeruk yang sengaja dipisahkan. Satu kantong untuk Kosim dan satu lagi untuk Anton.


Arul sampai di rumah Kosim. Ibunya mempersilahkan Arul masuk dan menyuruhnya langsung menuju ke tempat Kosim berbaring. Kosim hanya bisa berbaring. Dia tidak mau keluar, karena merasa malu.


Arul tersenyum, berusaha menghibur Kosim.


“Semoga cepat sembuh, ya, Sim.” Arul mengusap tangan Kosim lembut.


“Terima kasih. Maafkan aku, Rul. Selama ini aku sering berbuat jahat padamu. Aku sangat menyesal.” Kosim lirih. Lalu sesenggukan.


Di kedua kelopak matanya terbit linangan air mata. Dia tak kuasa membendung tangisnya. Ya, tangis penyesalan yang mendalam.


Orang yang selama ini dia kerjai habis-habisan. Kini berada di hadapannya di saat orang-orang berusaha menjauhinya.


Arul merasa terharu. Kedua kelopak matanya meleleh. Sekarang dia yakin dengan apa yang diucapkan ibunya. Dia akan memaafkan Kosim.


Dua puluh menit Arul menemani Kosim yang sedang berbaring. Lalu, ia meminta pamit pada Kosim dan ibunya untuk melanjutkan, menengok Anton yang juga sedang sakit.


Berulang kali Kosim mengucapkan permintaan maaf dan terima kasih pada Arul. Dia berjanji, tidak akan nakal lagi dan akan menjadi anak baik, bahkan paling baik. Dan, dia akan mengajak Anton untuk bersama-sama menjadi anak baik.


Anton pun demikian. Setelah Arul datang sambil menyerahkan satu kantong jeruk manis. Dia menangis dan menyesali perbuatannya selama ini. Dia juga berjanji akan menjadi anak baik dan akan mengajak Kosim menjadi anak baik, bahkan paling baik.[]

 
 
 

Comments


Join our mailing list

Never miss an update

© 2023 by Closet Confidential. Proudly created with Wix.com

bottom of page