top of page
Search

Semua Menjadi Menyenangkan

  • Writer: Anak-anak Langit
    Anak-anak Langit
  • Jan 13, 2018
  • 4 min read

Oleh: Dede Sulaeman

HUJAN masih belum berhenti. Bu Maryam mengemasi baju-baju dan barang-barang lainnya untuk dinaikan ke atas lemari. Air sudah masuk ke dalam rumah, tingginya selutut. Beberapa puluh sentimeter lagi tempat tidurnya tergenang air.


Gugun pun membantu ibunya. Hari itu ia terpaksa tidak masuk sekolah. Begitu juga teman-temannya. Air datang mulai tadi malam.


Menurut para penduduk desa itu, air sungai Cipunagara meluap dan menjebol tanggulnya. Akibatnya, hampir semua rumah penduduk tergenang air. Termasuk lahan pertanian di sana.


Dua hari banjir itu baru surut kembali. Para penduduk sibuk bekerja membereskan bekas banjir. Bu Maryam mengucap syukur. Bencana itu sudah berlalu.


Tetapi beliau kebingungan. Bagaimana caranya mencari uang untuk makan juga biaya sekolah Gugun.


“Kita tidak bisa berdagang nasi uduk lagi, Gun. Setelah banjir kemarin, bahan-bahan makanan sangat mahal. Ditambah, sekarang kita tidak punya apa-apa lagi. Beras kita yang dua karung kan tergenang air. Hari ini terpaksa kita makan jagung rebus saja, ya.” Bu Maryam menyodorkan dua jagung yang mengepul.


“Iya, Bu, tidak apa-apa.” Gugun lesu. Dia bukan lesu karena makan dengan jagung rebus. Tetapi karena memikirkan sekolahnya yang memerlukan biaya. Dan ibunya tidak bisa lagi membiayainya.


Anak semata wayang itu berusaha berpikir keras. Dia belum menemukan bagaimana caranya mendapatkan uang, selain berdagang. Dalam kebingungan itu, dia melangkah keluar.


Arul akan berjalan-jalan untuk melepas rasa penat. Bu Maryam sengaja membiarkannya pergi, karena beliau juga sedang berpikir keras.


Sore-sore Gugun pulang.


“Dari mana saja kamu, Nak?” tanya ibunya, khawatir.


Gugun hanya tersenyum sambil menyodorkan beberapa lembar uang ribuan. Dan satu kantong plastik beras.


“Ya, Allah. Dari mana uang itu anakku?”

“Ini rezeki dari Allah, Bu.”


“Tapi, kamu mendapatkannya di mana?” ibunya penasaran.


“Gun jadi kuli pengangkut barang belanjaan di pasar. Pokoknya, ibu jangan khawatir deh. Uang dan beras ini halal kok. Sekarang kita bisa makan nasi,” seru Gugun sambil melangkah ke dapur.


“Nak, biar ibu saja yang memasaknya.”


“Memangnya selama ini Gun yang memasak nasi, ya?” kata Gugun sambil tersenyum.


“Lalu, mau apa kamu ke dapur?”


“Gun haus, Bu. Masak tidak boleh minum.” Gugun nyengir lagi.


“Oo, kirain… ee .. Nak Gugun duduk istirahat saja di sini. Biar ibu yang menyiapkannya. Mau jus tawar, kopi tawar, atau teh tawar?” Bu Maryam menggoda sambil beranjak ke dapur.


“Bu, tunggu!”


“Ada apa?”


“Aku pesan jus bening rasa tawar, saja.”


Bu Maryam kembali tersenyum dan segera pergi ke dapur. Di rumah itu memang tidak ada apa-apa kecuali air putih. Ah, mereka memang selalu akrab. Saat senang atau susah.


“Besok tidak usah ke pasar lagi ya, Nak. Biar ibu saja yang mencari uang. Tadi siang ibu ditawari pekerjaan oleh Bu Gadis. Katanya, ibu boleh bekerja. Memasak untuk keluarga di sana.”


“Betulkah itu, Bu? Alhamdulillah. Berarti aku masih bisa sekolah, dong.” Wajah anak itu menyala-nyala. Gembira.


Diteguknya sekali lagi air putih yang disodorkan ibunya. Terasa sejuk ditenggorokannya, karena air itu disimpan di dalam kendi yang terbuat dari tanah yang dibakar. Menurutnya, air itu memiliki rasa yang enak.


“Ibu, tapi Gun ingin tetap bekerja di pasar. Sambil sekolah. Boleh?” ujarnya lagi.


“Anakku. Bukan ibu melarang. Tapi, prestasi belajar kamu bisa turun. Padahal kamu harus menjadi orang hebat. Bahkan, paling hebat seluruh dunia.”


“Seluruh dunia, Bu?”


“Betul. Jadi, kamu hanya punya tugas belajar dan mendoakan ibu saja.”


“Terima kasih. Ibu memang paling baik.”


Bu Maryam segera memeluk anak tunggalnya dengan perasaan sayang. Anak itu malah terpejam. Tidur.


Satu pekan Bu Maryam bekerja pada kelurga Bu Gadis. Pada hari terakhir pada pekan itulah Bu Maryam diberhentikan. Keluarga Bu Gadis pindah ke Bandung.


Tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menerimanya. Gaji selama satu pekan, hanya cukup untuk makan selama dua pekan berikutnya.


Kini keduanya merenung di depan rumah. Mereka sedang memikirkan cara mendapatkan uang yang halal. Gugun meletakkan kedua telapak tangannya pada dagu.


Dia berpikir keras. Bu Maryam menundukkan kepalanya. Sorot matanya diarahkan pada lantai yang masih tanah.


Sudah sepuluh menit mereka berpikir. Tiba-tiba. “Bu!” Gugun melonjak. Bu maryam kaget. Dia menyangka Gugun mendapat ide.


“Bagaiman, Nak. Apa sudah dapat jalannya?”


“Jalan apa, Bu?”


“Jalan keluar supaya kita bisa mendapatkan uang. Dan kamu bisa sekolah.”


“Belum.” Gugun mengerutkan wajahnya, pura-pura malu.


“Jadi ada apa tadi kamu melonjak?”


“Aku lapar, Bu.”


“Oo..” Bu maryam terbengong. Lalu beliau pergi ke dapur.


“Ini Nak, masih ada jagung rebus.”


“Jagung rebus?” Gugun terlonjak lagi. Suaranya keras.


“Kenapa? Bosan, ya? Cuma ada ini. Sabar, ya sayang!” Tangan Bu Maryam mengelus rambut Gugun.


“Ibu punya uang gaji dari Bu Gadis, kan?”


“Itu buat persediaan makan kita nanti, Nak.”


“Bukan, Bu. Maksud Gun, bagaimana kalau uang itu kita jadikan modal untuk dagang jagung rebus? Gun mau, keliling menjajakannya.”


“Ya, Allah. Betul itu, sayang. Ibu baru kepikiran ke sana.” Bu Maryam terperangah. Baru sadar anaknya punya usulan spontan yang bagus.


“Jadi, bagaimana, Bu?”


“Iya, ibu setuju. Besok pagi kita belanja jagung di pasar,” seru Bu Maryam sambil sekali lagi mengusap kepala anaknya.


Usaha dimulai. Sepulang sekolah Gugun berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Tidak hanya jagung yang didagangkan, tetapi kacang rebus juga.


“Jagung, Bu Ocih? Kacang juga ada?” kata Gugun pada seorang penghuni rumah.


“Maaf Nak, tidak dulu ya.” jawab ibu itu ramah.


“Mari, Bu. Terima kasih,” sambil berlalu, Gugun berteriak lagi.


“Ja..gung, rebus… Ka..cang, rebus…”


Anak itu terus berjalan mengelilingi perkampungan. Ternyata ada juga yang membeli. Hampir magrib pulang dengan membawa keuntungan. Begitu.


Akhirnya, Gugun bisa membiayai sekolahnya. Dan Bu Maryam tidak kesulitan lagi mencari uang. Seiring bergulirnya waktu, Bu Maryam menjadi berkecukupan.


Beliau memiliki warung yang cukup besar. Dan Gugun bisa melanjutkan sekolahnya lagi ke jenjang yang lebih tinggi.[]

 
 
 

Yorumlar


Join our mailing list

Never miss an update

© 2023 by Closet Confidential. Proudly created with Wix.com

bottom of page